*** Sejak usiaku lima tahun aku selalu menunggu bunda. Datang
untukku. Untuk ayah. Setiap senja tiba. Ketika matahari mengucapkan salam
perpisahan. Dan saat aku membuka pintu. Dibulan ramadhan seperti yang bunda
janjikan. Meski ayah telah berulang kali mengatakan bahwa bunda telah tiada.
Namun aku hanya akan menangis mendengar semua itu. Setelahnya ayah membiarkanku
menulis surat.
*** Kutulis kerinduanku disebuah kertas putih untuk setiap
penantianku terhadap bunda ketika ramadhan tiba. Hampir setiap minggu kukirim
surat itu. Seperti tahun-tahun sebelumnya dengan alamat yang sama ku kirim
surat itu kekantor pos tak jauh dari rumahku. Pak pos yang biasa menerima
suratku selalu menatapku dengan tatapan penuh luka. Entahlah aku tak mengerti.
***Lagi-lagi sosok itu muncul. Lima tahun sudah. Ia selalu
ada. Menatapku dari seberang jalan. Mengamatiku.Tatapannya aneh. Aku tak
peduli. Karena aku tak pernah mengenalnya. Tapi kali ini pria itu
menghampiriku. “Alamat yang kau tulis itu sama dengan alamat rumahmu,” katanya
tiba-tiba. “Maksudmu?” kataku panasaran. “ Kecelakaan itu. Lima tahun lalu. Apa
kau tak mengingatnya?” ujarnya menambahkan. Aku tak menjawab sampai dia berlalu
pergi. Mencoba mengingat apa yang dia katakan tadi. Kecelakaan lima tahun lalu.
Tapi aku tak mengingat apapun. Siapa sebenarnya pria itu? Mengapa ia mengatakan
hal itu? Mungkinkah ia tahu dimana bunda sekarang? Karena itukah ia terus
mengamatiku? Itulah yang menjadi pertanyaanku sampai aku tiba dirumah.
*** “Ini surat balasan yang kau tunggu sekian tahun,” kata ayah.
Betapa terkejutnya aku saat itu. Benarkah bunda membalas suratku. Tanpa ragu
kubuka surat bersampul pink itu.
Dear Kaela Rufi,
Bunda mencintaimu. Bunda menyesal membuatmu menunggu. Maafkan
bunda sayang. Jangan lagi menunggu bunda. Kita tak lagi didunia yang
sama. Bunda tak bisa kembali untukmu. Juga untuk ayah. Cukup sampai disini.
Pelukku untuk Kaela Rufi
Seluruh tubuhku gemetar. Diam tanpa suara. Masih sibuk merangkai
serpihan-serpihan hatiku yang telah hancur. Menerima kenyataan. Hanya tangis
yang ada kini. Ayah memelukku erat. Mencoba menenangkanku.
*** Kulihat alamat itu. Alamat yang bunda tulis dibuku hariannya
sebelum ia meninggal. Benar saja apa yang dikatakan pria itu. Aku memiliki
alamat yang sama dengan alamat surat yang kutulis untuk bunda. Aku tersadar
saat itu. Selama ini aku hanya berfantasy. Kutipan kerinduan itu hampir saja
membuatku menjadi orang lain. Aku membiarkan ayah seorang diri. Membiarkan ayah
menyaksikan kesedihanku setiap harinya.
***Aku Kaela Rufi. Mungkin terkunci dalam bayang-bayang kematian
bunda. Membiarkan ayah menangis setiap malam karena keadaanku. Aku menyesal
untuk semua itu.“Bunda, aku takkan menunggumu lagi. Karena ayah
membutuhkanku. Sampai bertemu disurga nanti.” Rangkaian kata terakhir yang
kutulis dalam surat yang kemudian kukirim kekantor pos yang sama. Tapi kali ini
dengan alamat yang berbeda. “surga”. ***“Ya allah, maafkan aku karena tak
dapat menerima takdir yang engkau buat untuk bunda…” kataku dalam hati.
Hari ini sosoknya tak nampak diseberang jalan saat kukirim surat terakhirku.
Pria yang membuatku sadar akan kenyataan. Mungkin dia malaikat yang allah kirim
untukku. Untuk mengatakan agar aku tak lagi menunggu bunda datang. Agar aku tak
lagi menulis surat ketika ramadhan tiba. Sampai saat ini aku belum dapat
mengingat kecelakaan lima tahun lalu. Siapa yang mengirimiku surat balasan itu.
Dan siapa sebenarnya pria misterius itu …